(Pendekatan Analisis Jalur/ Path Analysis)
Oleh: Muhammad Husaini
1. Latar Belakang
Dalam menganalisis permaslahan khususnya dalam bidang ekonomi banyak dijumpai model-model kuantitatif seperti model simultan, regresi berganda, dan model non parametrik lainnya. Salah satu model kuantitatif yang masih jarang dipakai dalam penelitian kasus-kasus ekonomi adalah model Analisis Jalur (Path Analysis). Dalam analisis jalur akan diungkapkan apakah suatu variabel akan berpengaruh secara langsung dengan variabel lain, atau pengaruh tersebut harus memlalui variabel antara. Tulisan ini akan mencoba mengaplikasikan alat analisis jalur pada kasus penurunan nilai mata uang rupiah dan dampaknya terhadap term of trade dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Periode waktu yang dipilih antara tahun 19980 hingga tahun 1995. Dipilihnya periode waktu ini mengingat antara tahun 1980 hingga tahun 1995 penurunan nilai rupiah murni akibat dari permintaan dan penawaran di pasar. Sedangkan periode setelah itu penurunan nilai rupiah lebih diakibatkan oleh gejolak politik dan kondisi ekonomi dunia yang tidak stabil.
Jika diamati perkonomian Indonesia sejak masa Orde Baru, sudah bersifat terbuka. Keterbukaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Dari sisi pengeluaran Produk Domestik Bruto (PDB), terdapat besaran angka yang cukup menonjol dari nilai ekspor maupun impor. Selain itu, setiap saat terdapat transaksi penerimaan dan pengeluaran antara Indonesia dengan negara lain, baik berupa uang, modal, komoditas, maupun teknologi. Dilihat dari sistem pengaturan devisa, sejak tahun 1968 Indonesia telah menganut sistem devisa bebas, dalam arti tidak ada larangan untuk membawa, menyimpan, atau menggunakan devisa dalam jumlah berapapun. Hal ini menunjukkan kemudahan aliran uang dan modal asing untuk masuk maupun keluar dari Indonesia. Dilihat dari sistem penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Indonesia masih mengandalkan bantuan dan pinjaman dari luar negeri sebagai upaya menambah penerimaan negara untuk membiayai pembangunan.
Implikasi dari adanya keterbukaan tersebut, maka perkembangan perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian internasional. Hal ini tercermin dari pola perdagangan Indonesia yang mengalami fluktuasi sebagai akibat perkembangan nilai ekspor dan impor yang mengalami fluktuasi.
Ditinjau dari komposisi nilai ekspor Indonesia terlihat bahwa pada awal pembangunan di Idonesia dominasi minyak bumi dan gas alam masih cukup besar. Namun perkembangan selanjutnya nampak peranan ekspor migas semakin menurun, bahkan sejak tahun 1987 terlihat terjadi pergeseran komposisi ekspor dari migas ke non migas. Keadaan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor non migas guna menggantikan posisi migas sebagai penyumbang utama devisa negara. Walaupun posisi ekspor non migas telah berhasil menggeser posisi ekspor migas, namun bila ditinjau dari keadaan transaksi berjalan dalam neraca pembayaran yang terus menerus mengalami defisit akibat pengeluaran jasa yang semakin besar, menunjukkan bahwa penerimaan ekspor terutama non migas belum mampu untuk menutupi kebutuhan impor dan pembayaran jasa-jasa seperti pada masa kejayaan harga minyak bumi.
Kondisi transaksi berjalan dalam neraca pembayaran yang mengalami defisit terus menerus, dan menyadari harga minyak bumi yang kian tidak menentu, maka upaya untuk meningkatkan penerimaan ekspor non migas mutlak diperlukan. Salah satu upaya untuk mendorong peningkatan ekspor adalah dengan mempengaruhi nilai tukar mata uang (Branson, W, 1978).
Atas dasar inilah pemerintah Indonesia sejak tahun 1986 (devaluasi terakhir) mengambil kebijakan untuk mengambangkan nilai mata uang rupiah. Jika pada periode sebelumnya kurs rupiah masih menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat sebagai standar utama, maka sejak tahun 1986 nilai mata uang rupiah sudah dikaitkan dengan beberapa mata uang dunia yang kuat (basket currencies). Tujuan utama kebijakan ini adalah agar nilai tukar rupiah menjadi lebih realistis, karena tingkat kurs yang berlaku ditetapkan atas permintaan dan penawaran pasar. Dalam sistem ini nilai mata uang akan mengalami kenaikan (apresiasi) dan penurunan (depresiasi), sehingga daya saing ekspor akan dapat dipertahankan.
Namun dalam kenyataannya sejak diberlakukannya kebijakan tersebut nilai rupiah cenderung mengalami penurunan terus menerus (depresiasi). Keadaan ini walaupun mungkin memberikan dampak yang baik terhadap peningkatan ekspor, namun demikian belum tentu menimbulkan dampak yang baik terhadap kegiatan ekonomi lainnya, seperti nilai tukar dagang (terms of trade), neraca pembayaran, dan bahkan pada laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri. .
Mengacu pada kondisi di atas, maka tulisan ini akan membahas dampak penurunan nilai mata uang rupiah (depresiasi) tersebut terhadap nilai tukar dagang (terms of trade) dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
1. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah:
1.2.1 Apakah depresiasi nilai rupiah berpengaruh terhadap nilai tukar dagang (Terms of Trade) Indonesia.
1.2.2 Bagaimana pengaruh depresiasi nilai rupiah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
3.1 Menganalisis pengaruh penurunan (depresiasi) nilai rupiah terhadap perkembangan nilai tukar dagang (terms of trade).
3.2 Menganalisis pengaruh penurunan (depresiasi) nilai rupiah terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang mekanisme engaruh dpresiasi nilai rupiah terhadap nilai tukar dagang (terms of trade) dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mengambil kebijakan lebih lanjut khususnya yang berkaitan dengan penentuan sistem kurs yang berlaku, sehingga dapat mendorong laju pembangunan. Bagi kalangan akademis terutama bagi mahasiswa, diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan kajian ilmiah sehingga dapat menambah pengetahuan dan refrensi dalam penulisan karya ilmiah lebih lanjut.
5, Landasan Teori
Nilai tukar mata uang (exchange rate) suatu negara adalah jumlah satuan mata uang domestik yang dapat dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain (Levi.M, 1983:13). Ini berarti bahwa nilai tukar mata uang suatu negara menunujukkan daya beli internasional negara yang bersangkutan, sehingga perubahan di dalam nilai tukar mata uang menunjukkan perubahan daya beli negara tersebut (Scott, 1978: 218). Secara umum terdapat tiga pilihan sistem nilai tukar yang dapat dianut oleh suatu negara (Lindert, P.Kindleberger, 1986: 542) yaitu: (1) sistem nilai tukar mengambang murni, (2) sistem nilai tukar mengambang terkendali, dan (3) sistem nilai tukar tetap.
Sistem mengambang murni dan mengambang terkendali, sejak tahun 1971 lebih banyak dipakai terutama oleh negara-negara berkembang. Alasan utamanya adalah pertimbangan dampak hubungan luar negeri, dimana gejolak perdagangan luar negeri sangat berpengaruh pada perekonomian secara keseluruhan. Misalnya pada kasus terjadi peralihan permintaan di dalam negeri terhadap produk-produk luar negeri akibat naiknya pendapatan masyarakat. Dalam sistem kurs tetap keadaan ini akan menyebabkan depresi di dalam negeri sebagai akibat turunnya kegiatan ekspor sehingga akan memperburuk neraca perdagangan dan akan mempengaruhi cadangan devisa, mengurangi jumlah uang beredar dan pada akhirnya akan memperberat depresi itu sendiri.
Di lain pihak dalam sistem kurs mengambang, dengan menurunnya penerimaan ekspor akan menyebabkan mata uang negara tersebut mengalami penurunan nilai tukarnya relatif terhadap mata uang negara-negara lain. Penurunan ini akan menyebabkan harga barang-barang negara yang bersangkutan menjadi lebih murah dinilai dengan mata uang negara asing. Dengan demikian permintaan luar negeri terhadap produk-produk negara yang bersangkutan akan meningkat. Ini berarti akan memperbaiki depresi yang terjadi.
Dalam sistem kurs mengambang, kurs mata uang yang berlaku akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Perubahan pada variabel-variabel permintaan dan penawaran akan merubah tingkat kurs yang berlaku. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi kurs mata uang yang berlaku pada suatu negara (Kindleberger, 1986: 359), yaitu: (1) jumlah uang beredar, (2) pendapatan nyata (riel income), (3) perbedaan tingkat suku bunga, dan (4) harapan nilai tukar.
Pengaruh jumlah uang beredar terhadap nilai tukar dapat dijelaskan melalui Gambar berikut:
r ($/£
Mf/M
1,32 A
B
1,20
Stok uang (j/…)
0 0,045 0,050
Gambar 1 Pengaruh Perubahan Jumlah Uang Beredar Terhadap Nilai Tukar
Sumber: Kindleberger, 1986:370
Dalam gambar tersebut dianggap bahwa kurva penawaran merupakan rasio jumlah uang beredar di Inggeris dengan negara lainnya (Mƒ/M), misalkan dengan mata uang US $. Titik A adalah permintaan relatif untuk menguasai saldo pounsterling dibanding dengan keinginan menguasi dolar (Lƒ/L) yang sama dengan penawaran pounsterling secara relatif terhadap dolar (Mƒ/M) dengan nilai ekuilibrium poundsterling sebesar $1,20. Misalkan penawaran poundsterling dikurangi sebesar 10 persen, maka nilai poundsterling akan meningkat. Pengurangan jumlah uang beredar sebesar 10 persen ini akan menaikkan nilai mata uang pounsterling sebesar 10 persen atau US $1,32. Pergeseran dari titik A ke titik B pada kurva tersebut menunjukkan bahwa jumlah uang dolar yang beredar juga meningkat sebesar 10 persen. Apabila kenaikan jumlah uang dolar yang beredar tersebut dibiarkan begitu saja, maka harga-harga yang terkait dengan dolar akan meningkat, sehingga permintaan internasional terhadap produk-produk yang dinilai dalam dolar akan bergeser. Ini berarti akan menurunkan permintaan terhadap mata uang dolar.
Pengaruh pendapatan nyata terhadap nilai tukar dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar berikut:
r ($/£)
Mf/M
1,32 C
A
1,20
0 0,050 0,055
Jumlah uang beredar (£/$)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment